Prabu Parikesit : Gagal menjadi Raja Hastinapura di Jaman Normal Baru

tulisan KRT. Noorwahjudi Hadinagoro
Terik matahari kian membakar peluh para prajurit. Pertempuran semakin habis-habisan, membabi-buta memperjuangkan kebenaran yang diyakini masing-masing pihak. Trah keluarga Kuru, gagal menempuh jalan diplomasi dalam lakon Kresna Duta. 

Akibat bisikan faksi tetua haus kuasa yang  direpresentasikan oleh paman Sengkuni, maharaja Duryudana menolak menyerahkan kembali tahta Hastinapura pada Pandawa.

Prabu Kresna sempat tidak bisa menahan amarah, ber-triwikrama. Berubah wujud menjadi raksasa menakutkan. Tubuh rampingnya menjelma Buto sebesar gunung Merapi, siap menumpahkan lahar panas, melumat seluruh kejahatan.

Di teras istana Setyaki yang sebelumnya ngopi-ngopi bareng Dursasana, Citraksa-Citraksi, sempat baku hantam satu ronde. Untung saja Batara Narada ambil inisiatif menghentikan kegaduhan. 

Belum tiba saatnya. Kitab Mahabharata harus selesai serialnya. Jika tayangan dihentikan seketika, bagaimana nasib kontrak dengan para pengiklan. Bagaimana kelangsungan hidup media ini bisa dipertahankan.

Tumbal bernama Parikesit
Hari itu, adalah hari ke delapan belas Baratayudha berlangsung, aroma anyir darah menebar kengerian, pasukan berguguran, para ksatria terluka parah. Arjuna masih terlibat dalam pertarungan seru menghadapi Aswatama. Sama-sama sakti. Otot kawat tulang besi. Ora tedas tapak paluning pande. Kebal dari segala macam senjata. 

Aswatama  mengeluarkan senjata Brahmastra. Arjuna tidak mau kalah, bersiap pula merentang senjata dewa tersebut. Kengerian akan terjadi, bumi akan luluh lantak oleh ledakan dasyat dengan menyisakan radiasi Alfa, residu nuklir berkepanjangan. 

Sekali lagi jika dibiarkan, tayangan epik Baratayudha bisa tamat sebelum dana iklan tercurah tertampung di rekening media secara maksimal.

Kali ini bukan  dewa yang intervensi. Sepertinya kurang pantas jika terlalu sering turun dari kahyangan demi menyelamatkan iklan. Begawan Resi Byasa mencegah. Aswatama disarankan mengarahkan rudal ke sasaran lain. 

Amarah dan kesumat telah mendidih. Laras senjata tepat menyalak menuju kandungan Dewi Utari istri Abimanyu. Janin yang kelak bernama Parikesit mati seketika.

Situasi ini menuntut para dewa lagi-lagi membenahi alur cerita. Pendapatan iklan harus dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung. Mahadewa Wisnu tampil melalu Kresna. Sang janin diselamatkan, dihidupkan kembali. Karena itu kelak Parikesit juga disebut sebagai Prabu Vishnurata. Dalam lindungan Wisnu.

Demikianlah Parikesit, sejak janin saja sudah menjadi tumbal dari sebuah pertarungan kepentingan Simbah-simbahnya, Kurawa-Pandawa.

Ceritanya tidak singkat, hingga Baratayudha berakhir. Penuh drama, intrik, muslihat, rekayasa serta konspirasi. Perang total. Koalisi, adu nilai tukar mata uang, blokade ekonomi, trade war, bahkan konon katanya biological war dilakukan. Virus dimodifikasi sampai tidak terkendali melumpuhkan segenap sektor ekonomi. Kehidupan dunia macet.

Baratayudha berakhir dengan kemenangan Pandawa, namun masih menyisakan banyak dendam.

Aswatama berhasil menyusup membantai ke Lima Pandawa. Namun sial. Dia salah mendeteksi sasaran. Intelejen kurang cermat. Pandawa selamat. Hanya saja seluruh anak-anak tumpes habis. 

Aswatama hendak menuntaskan misi. Menyelinap ke kamar persalinan hendak membunuh Parikesit bayi. Tumpes Kelor. Pandawa harus dihabisi sampai ke akar-akarnya.

Banyak ksatria serta para permaisuri bertumbangan karena keampuhan dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh pusaka Cundamanik warisan begawan Drona di tangan putranya. Aswatama semakin menggila. Setyaki, Srikandi, Dian Pancawala, Woro Sembadra, Banowati juga masih banyak lainnya tumbang secara tragis. 

Kebrutalan Aswatama terhenti ketika saat dengan bengis hendak menikam Parikesit, bayi berumur beberapa hari, pewaris tunggal tahta Hastinapura. Dalam lindungan Wisnu, kaki sang bayi menghentak dan keris Pulanggeni menikam mata penjahat kesurupan tersebut.

Jaman Normal Baru Hastinapura
Akhir cerita setelah segala geger, tragedi, dan pertumpahan darah berakhir. Yudhistira naik tahta bergelar Prabu Karimataya. Pembangunan mengalami percepatan dengan slogan kerja, kerja, kerja.

Ekonomi meroket hingga 7 %. Industri strategis sangat berkembang, jalan tol dibangun menghubungkan seluruh negeri. Listrik, minyak dan gas serba murah, sudah tidak perlu subsidi. Tidak cukup darat. Laut juga ada tol nya. 

Mobil nasional diresmikan penuh kebanggaan, canda ceria. Rakyat bergembira.

Bahkan sebegitu kaya-rayanya penduduk Hastinapura tidak perlu capek-capek berproduksi. Berbagai kebutuhan diimport. Gula, jagung, beras, garam, bawang. Kuota dibagi merata asal mau bicara baik-baik. Semua lebih murah dibanding bila membuat sendiri. Soal anggaran belanja tekor, bukanlah hal mencemaskan. 

Hastinapura dipercaya banyak investor. Peringkat hutang internasional sangat mengesankan. Dunia memuji keberhasilan bendahara Negeri. Berbagai penghargaan tertinggi dianugerahkan.

Pandawa sudah memenuhi tugas kewajibannya sebagai ksatria utama. Amar makruf wa nahi mungkar sudah dijalankan. Welfare state telah tercapai. Generasi milenials telah lahir dan siap melanjutkan tahta menyambut Hastinapura Emas. 

Dalam pakem cerita Pandawa akan segera lengser keprabon. Meninggalkan segala nikmat duniawi demi menggapai kenikmatan abadi. Kembali ke Fitri. Pulang pada tempat berasal. 

Lima bersaudara dengan ditemani Drupadi, dan seekor anjing, harus menempuh perjalanan panjang, keluar  masuk hutan, lembah dan ngarai demi menemukan pintu Swargaloka. Hujan, badai, panas terik sudah dilalui. Lapar haus mendera. Sampailah rombongan agung ke tempat tertinggi dari wajah bumi. Pegunungan Himawan. Di tempat itulah Batara Indra akan menjemput.

Parikesit akan segera dinobatkan jadi raja. Begitu titah alam mengatakan. Pesta  dan upacara disiapkan sesempurna mungkin. Jubah, mahkota serta berbagai hiburan disiapkan. Kemampuan strategis, olah Kanuragan, olah sastra, juga profesionalisme Parikesit sudah sangat layak menduduki singgasana Hastinapura. 

Seluruh rakyat bersiap merelakan para Pandawa lengser. Hujan airmata diseluruh negeri. Bukan karena sedih kehilangan, melainkan terharu begitu besarnya jasa Lima ksatria utama ini. 

Namun tiba tiba tangisan masal terhenti. Masyarakat terbengong- bengong tak bisa berkata-kata.

Yudhistira tidak berkenan turun tahta dan membiarkan keempat adiknya menempuh jalan kebingungan. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa berjalan tanpa arah. Drupadi mengalami dilema mau ikut siapa. Si anjing lemes karena gagal ikut masuk surga. Dan paling masygul adalah Betara Indra. Dewa satu ini gagal menjalankan tugas justru diakhir episode. Tidak ada kesempatan lagi memperbaiki kinerja.

Salam Dharma

Jepara, 9 Juni 2020
Trus Karya Tataning Bumi

Lebih baru Lebih lama